Tarling
is Darling
Opsi
1.
Di Pantura, Musik Tarling yang sudah
sangat membudaya, sering kali di identikan dengan image negatif yang melekat. Tradisi Sawer
dan biduan seksi adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga sangat
mempengaruhi beberapa aspek kehidupan di masyarakat dari berbagai kalangan.
(budaya kawin cerai, dll)
Jaham, seorang musisi tarling
berpengaruh di Pantura, setelah bertemu dengan ust. Uki dan tokoh ulama lainya,
dia ingin mengembalikan/ (mengubah) citra musik
tarling sebagaimana (fitrahnya)/mestinya, yang pada
awal kedatangannya dipergunakan untuk melakukan dakwah.
Opsi
2
Tarling
is Darling, adalah kisah sepenggal kehidupan yang
ada di Pantura. Kita diajak menyelami realitas yang terjadi disekelilingnya. Jaham
adalah musisi Tarling berpengaruh disana, bersama Ipung ia merekrut dan juga
mengorbitkan calon biduan/penyanyi yang ingin terkenal dan banyak duit.
Tantangan datang kepada Jaham dari para
ulama yang mengajaknya, membuat lagu bertema islami.
Pantura:Tarling
is Darling, Pesona Lika-Liku Kehidupan / Laki-laki
Mungkin saja Tarling is Darling memiliki kesan yang baru buat saya pribadi, ketika
dokumenter lainnya yang mengangkat isu dengan kentara saat ini, LGBT, pelanggaran
hak Asasi, penguakan fakta, menelisik jauh sejarah, mendatangkan tokoh-tokoh
publik, para ahli yang berbicara teoritis dan lain sebagainya, Tarling is Darling memilih hadir dengan
format yang agaknya berbeda, cenderung mengajak
bercanda melalui karakter karakter yang ada di dalamnya, sedikit rileks
mengundang tawa dan senyum. Apa asiknya/istimewa sih mengikuti kehidupan
orang yang kelihatannya biasa-biasa saja? Ini bisa saja menjadi batu yang
berlumut, yang rawan tergelincir bila berdiri diatasnya, Agaknya dalam mata Sutradara
Ismail Fahmi Lubis bisa mengajak kita untuk dapat menemukan sesuatu yang tidak
biasa-biasa saja dari orang kita kira biasa-biasa saja.
Tarling
is Darling, dibuka dengan merah putih kusam yang
berkibar serta kutipan kalimat,” Indonesia
is a country with 250 million people with the largest Moslem population in the
world”, tapi tenang, kita tidak akan membahas sesuatu yang meluas, hanya saja
ada sebuah ironisitas kecil didalamnya.
Mengerucut pada daerah Pantura, Lagu
tarling berjalan biduan seksi beraksi dengan para pesawernya, lalu intercut
dengan keseharian pesawer sebagai petani (sedang memanen). Saya melihat ada 2
lahan yang sangat kentara di sini, dan lahan yang dimaksud pun kontekstual
sifatnya. Lahan sawah sendiri memiliki sebuah makna penghidupan yang dapat
menghidupi banyak hajat, pertanyaan yang hadir benak saya adalah bagaimana bisa
kehidupan seorang yang membantu lahan penghidupan, tidak memiliki kehidupan
yang hidup? Seakan tak kuasa dan dikendalikan ego mereka terhadap hiburan,yang
harus memanjakan para biduan-biduan itu dengan saweran, yang acap kali uang
mereka habis karena itu, apakah tidak ada hiburan lain? Oh ya, saya belum
pernah dan mungkin belum tau asiknya. Sedangkan lahan yang lain, lahan panggung, menghidupi industri
hiburan mulai dari biduannya anggotanya, dan sektor lainnya yang sepertinya
memang tampak sangat hidup disana. Jelas mungkin saja kita berfikir pasti lahan
sawah mempunyai sumbangsih pada penghidupan lahan panggung tersebut, atau
mungkin kah bisa sebaliknya?
Berikut kita masuk pada sebuah interaksi
di rumah calon seorang biduan, Jaham dan Ipung melancarkan buaian, untuk
merekrut biduannya, yang sepertinya tidak dianggap buaian oleh objeknya. Kita
melihat support ibu kandungnya yang menginginkan anaknya menjadi biduan begitu
menggebu, walau anaknya terlihat seperti setengah mau mau tidak. Mungkin saja
menjadi biduan, punya banyak duit dan penggemar adalah impian dan tujuan setiap
wanita disana. Disinilah awal daripada rantai industri di Pantura berjalan.
Di seperempat film fokus berganti kepada
Nano Romansa, yang konon dulunya adalah pesaing Rhoma Irama, dan juga salah
satu orang yang berpengaruh di Tarling. Seakan ke-emasan hanya menjadi sebuah
cerita, dan prasasti yang terkubur, Nano Romansa hidup dalam kekurangan dan
mengidap stroke. Pada era-nya publik figur/musisi yang berkharismatik dan punya
kualitas bisa sangat dihargai, disanjung dan dipuja, bukti istri muda yang yang
ke-sekian di masa tua nya adalah sisa dari kejayaannya. Namun disini seakan
menjelaskan era sudah beralih kepada era yang tidak lagi mempedulikan itu.
Dalam waktu kurang dari 2 jam, Ismail
Fahmi Lubis mengajak kita mengikuti seorang tokoh yang eksentrik yaitu Jaham,
menemui tokoh-tokoh lainnya. Bertemu dengan seorang pelaku industri, yang kita
akan beranggapan, sebenarnya industri mereka hidup secara mandiri dari berbagai
sektor, tidak lagi perlu campur tangan orang luar. Dimana pembajak tidak
dianggap sebagai musuh para pembuat karya melainkan partner/mitra dalam bisnis
mereka.
Kalau biasanya dalam drama percintaan
masih dalam terminologi Romeo and Juliet dalam melancarkan rayuan, kali ini
rayuan dilancarkan lewat tokoh Jaham kepada perempuan perempuan biduan
yang tidak kalah menarik, mungkin saja
terlihat biasa, nakal dalam level tertentu, tapi di dalam ke-biasa-an itu
mempunyai daya pikat tersendiri menurut Saya.
Di pertengahan kita dipertemukan dengan
tokoh yang cukup dominan yaitu kang uki sebagai ulama, bersama tokoh lainnya
berinisiasi mengajak Jaham untuk merubah fungsi Tarling yang dianggap melenceng
dari sudut pandang agama kembali kepada fitrahnya. Bisa saja Jaham mau
mengerjakannya atas kesadaran dan dorongan dari dalam, atau merasa tertantang,
atau pula diterima sebagai ‘order’ belaka.
Berhubung kita hidup di zaman sekarang
jadi kita punya pembanding, tersadar Jaham adalah musisi yang terpandang di
sana dan cukup punya pengaruh, peralatan terlihat seadanya namun tetap bisa
menghasilkan karya yang cukup bisa diterima oleh orang sana. Tak jarang produktivitas
Jaham membuatnya di kenal sebagai orang yang bisa meng-orbitkan biduan dengan
lagu ciptaannya, di dalam film kita melihat ada Vina yang sekonyong-konyong datang jauh-jauh mencari
rumah Jaham untuk minta diajarkan bernyanyi. Mungkin pada titik tertentu Jaham
bisa dianggap sebagai pujangga.
Di bagian akhir, lagu gubahan Jaham di
lantunkan oleh kang uki dan grupnya di sebuah acara perayaan LESBUMI (Lembaga
Seni Budaya Muslim Indonesia), terlintaskah di kepala Saya pertanyaan ‘Inikah
yang dimaksud kembali kepada fitrahnya?’. Setelah itu kembali kepada interaksi
Nano Romansa dan Jaham yang sedikit berbicara tentang Dakwah yang disebarkan
Wali Songo lewat berbagai macam cara sala satunya Kesenian, mungkin ini menjadi
tolak ukur mereka atau sekedar angan.
Disini banyak sudut pandang yang
terwakilkan lewat tokoh-tokoh yang ada di dalamnya, sehingga dapat mengikat
berbagai segmentasi penonton dari setiap tokohnya.
Musik yang berjalan dalam film, berasal
dari hits-hits Tarling disana sangat memberikan nuansa penggambaran hiburan
disana, yang terasa hidup. Kalau sempat dicermati lirik-lirik-nya pun cukup
unik, benar menggambarkan lika-liku kehidupan di Pantura, Goda-godaan,
perselingkuhan, Rayu-rayuan, Genit-genitan, rasanya tidak akan keluar dari
situ. Walaupun agak sedikit riskan menempatkan musik-musik seperti ini bisa
terasa seperti menonton sebuah drama fiksi(india bahkan), namun gambar-gambar
yang hadir tetap menjaga dan menunjukan realitas, tanpa ada unsur pen-dramatisir-an.
Setiap sutradara pasti memiliki treatment tersendiri untuk memperlakukan
filmnya agar menjadi baik dan efektif di mata penontonnya. Sutradara
menggunakan pendekatan secara observasional, mungkin kita menganggap melakukan
pendekatan terhadap orang-orang yang ada di Tarling
is Darling cukup rileks, seperti nongkrong ngobrol-ngobrol warkop-an atau
di pos hansip, namun rasanya dibutuhkan kejelian untuk memilih momen momen yang
tepat dari tokoh-tokoh yang sudah ditentukan untuk menjadi subyek. Bukan
perkara mudah juga rasanya membuat subyek terbiasa dengan kamera yang
menyorotinya, dan dapat bertingkah seperti sewajarnya, rasanya dibutuhkan waktu
yang intens hingga mereka bersedia hari-hari nya dibuntuti dengan terbiasa.
Agar terlihat kehidupan subyek secara
utuh, mau tidak mau sutradara juga harus mengikuti setiap dinamika dari setiap
karakter-karakternya yang dimana perubahannya tidak terjadi secara cepat.
Metode pengambilan gambar Tarling is Darling dilakukan dengan
tehnik yang dikenal dengan nama Single
Shot Cinema, mungkin dengan tehnik
ini sutradara percaya betul filmnya bisa berkomunikasi secara efektif. Secara
etika, para subyek tidak diperlakukan seperti mereka berada di dalam sebuah
studio, dengan tata set Camera &
Lighting yang rumit, dimana mereka bisa menjadi karakter lain. Mereka akan
berdiri pada karakternya sendiri, tempat yang sudah mereka pijak, tak ada
rekayasa dan sangat menekankan pada realitas. Single Shot Cinema membuat subyeknya tidak berjarak dengan
penonton, seperti kita diajak bercengkrama memahami setiap narasi dan emosi
mereka, dan mata kamera pun sangat mewakili sudut pandang penonton. Tak ada
shot yang terasa intimidatif dan eksploitatif sehingga Tarling is Darling hadir
tanpa sebuah penghakiman. banyak aspek kehidupan yang terekam begitu naturalnya,
tanpa paksaan membuat kita dengan cepat memahami subyek-subyek film secara
emosional.
Sedikit menyoal tentang etika, ada
beberapa gambar dalam kamar yang membuat saya membayangkan proses di balik
layarnya, mungkin saja tehnik dan metode ini memang baik untuk subyek-subyeknya
bergerak secara natural, dan diikuti secara nyaman, namun pertanyaan kecil
hadir, bukan kah manusia punya batas ruang privasi yang tidak bisa dimasuki
orang lain.
Tarling
is Darling hadir sebagai film dokumenter yang
cukup menghibur, jenaka, dan memiliki pesonanya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar