Rabu, 19 Juli 2017

Review Film Tarling is Darling oleh @Bedil (ex mahasiswa Film yang sudah selesai)

Tarling is Darling

Opsi 1.
Di Pantura, Musik Tarling yang sudah sangat membudaya, sering kali di identikan dengan image negatif yang melekat. Tradisi Sawer dan biduan seksi adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga sangat mempengaruhi beberapa aspek kehidupan di masyarakat dari berbagai kalangan. (budaya kawin cerai, dll)
Jaham, seorang musisi tarling berpengaruh di Pantura, setelah bertemu dengan ust. Uki dan tokoh ulama lainya, dia ingin mengembalikan/ (mengubah) citra musik tarling sebagaimana (fitrahnya)/mestinya, yang pada awal kedatangannya dipergunakan untuk melakukan dakwah.

Opsi 2
Tarling is Darling, adalah kisah sepenggal kehidupan yang ada di Pantura. Kita diajak menyelami realitas yang terjadi disekelilingnya. Jaham adalah musisi Tarling berpengaruh disana, bersama Ipung ia merekrut dan juga mengorbitkan calon biduan/penyanyi yang ingin terkenal dan banyak duit.

Tantangan datang kepada Jaham dari para ulama yang mengajaknya, membuat lagu bertema islami.

Pantura:Tarling is Darling, Pesona Lika-Liku Kehidupan / Laki-laki

Mungkin saja Tarling is Darling memiliki kesan yang baru buat saya pribadi, ketika dokumenter lainnya yang mengangkat isu dengan kentara saat ini, LGBT, pelanggaran hak Asasi, penguakan fakta, menelisik jauh sejarah, mendatangkan tokoh-tokoh publik, para ahli yang berbicara teoritis dan lain sebagainya, Tarling is Darling memilih hadir dengan format yang agaknya berbeda, cenderung mengajak bercanda melalui karakter karakter yang ada di dalamnya, sedikit rileks mengundang tawa dan senyum. Apa asiknya/istimewa sih mengikuti kehidupan orang yang kelihatannya biasa-biasa saja? Ini bisa saja menjadi batu yang berlumut, yang rawan tergelincir bila berdiri diatasnya, Agaknya dalam mata Sutradara Ismail Fahmi Lubis bisa mengajak kita untuk dapat menemukan sesuatu yang tidak biasa-biasa saja dari orang kita kira biasa-biasa saja.

Tarling is Darling, dibuka dengan merah putih kusam yang berkibar serta kutipan kalimat,” Indonesia is a country with 250 million people with the largest Moslem population in the world”, tapi tenang, kita tidak akan membahas sesuatu yang meluas, hanya saja ada sebuah ironisitas kecil didalamnya.
Mengerucut pada daerah Pantura, Lagu tarling berjalan biduan seksi beraksi dengan para pesawernya, lalu intercut dengan keseharian pesawer sebagai petani (sedang memanen). Saya melihat ada 2 lahan yang sangat kentara di sini, dan lahan yang dimaksud pun kontekstual sifatnya. Lahan sawah sendiri memiliki sebuah makna penghidupan yang dapat menghidupi banyak hajat, pertanyaan yang hadir benak saya adalah bagaimana bisa kehidupan seorang yang membantu lahan penghidupan, tidak memiliki kehidupan yang hidup? Seakan tak kuasa dan dikendalikan ego mereka terhadap hiburan,yang harus memanjakan para biduan-biduan itu dengan saweran, yang acap kali uang mereka habis karena itu, apakah tidak ada hiburan lain? Oh ya, saya belum pernah dan mungkin belum tau asiknya. Sedangkan  lahan yang lain, lahan panggung, menghidupi industri hiburan mulai dari biduannya anggotanya, dan sektor lainnya yang sepertinya memang tampak sangat hidup disana. Jelas mungkin saja kita berfikir pasti lahan sawah mempunyai sumbangsih pada penghidupan lahan panggung tersebut, atau mungkin kah bisa sebaliknya?

Berikut kita masuk pada sebuah interaksi di rumah calon seorang biduan, Jaham dan Ipung melancarkan buaian, untuk merekrut biduannya, yang sepertinya tidak dianggap buaian oleh objeknya. Kita melihat support ibu kandungnya yang menginginkan anaknya menjadi biduan begitu menggebu, walau anaknya terlihat seperti setengah mau mau tidak. Mungkin saja menjadi biduan, punya banyak duit dan penggemar adalah impian dan tujuan setiap wanita disana. Disinilah awal daripada rantai industri di Pantura berjalan.

Di seperempat film fokus berganti kepada Nano Romansa, yang konon dulunya adalah pesaing Rhoma Irama, dan juga salah satu orang yang berpengaruh di Tarling. Seakan ke-emasan hanya menjadi sebuah cerita, dan prasasti yang terkubur, Nano Romansa hidup dalam kekurangan dan mengidap stroke. Pada era-nya publik figur/musisi yang berkharismatik dan punya kualitas bisa sangat dihargai, disanjung dan dipuja, bukti istri muda yang yang ke-sekian di masa tua nya adalah sisa dari kejayaannya. Namun disini seakan menjelaskan era sudah beralih kepada era yang tidak lagi mempedulikan itu.

Dalam waktu kurang dari 2 jam, Ismail Fahmi Lubis mengajak kita mengikuti seorang tokoh yang eksentrik yaitu Jaham, menemui tokoh-tokoh lainnya. Bertemu dengan seorang pelaku industri, yang kita akan beranggapan, sebenarnya industri mereka hidup secara mandiri dari berbagai sektor, tidak lagi perlu campur tangan orang luar. Dimana pembajak tidak dianggap sebagai musuh para pembuat karya melainkan partner/mitra dalam bisnis mereka.

Kalau biasanya dalam drama percintaan masih dalam terminologi Romeo and Juliet dalam melancarkan rayuan, kali ini rayuan dilancarkan lewat tokoh Jaham kepada perempuan perempuan biduan yang  tidak kalah menarik, mungkin saja terlihat biasa, nakal dalam level tertentu, tapi di dalam ke-biasa-an itu mempunyai daya pikat tersendiri menurut Saya.

Di pertengahan kita dipertemukan dengan tokoh yang cukup dominan yaitu kang uki sebagai ulama, bersama tokoh lainnya berinisiasi mengajak Jaham untuk merubah fungsi Tarling yang dianggap melenceng dari sudut pandang agama kembali kepada fitrahnya. Bisa saja Jaham mau mengerjakannya atas kesadaran dan dorongan dari dalam, atau merasa tertantang, atau pula diterima sebagai ‘order’ belaka.

Berhubung kita hidup di zaman sekarang jadi kita punya pembanding, tersadar Jaham adalah musisi yang terpandang di sana dan cukup punya pengaruh, peralatan terlihat seadanya namun tetap bisa menghasilkan karya yang cukup bisa diterima oleh orang sana. Tak jarang produktivitas Jaham membuatnya di kenal sebagai orang yang bisa meng-orbitkan biduan dengan lagu ciptaannya, di dalam film kita melihat ada Vina yang  sekonyong-konyong datang jauh-jauh mencari rumah Jaham untuk minta diajarkan bernyanyi. Mungkin pada titik tertentu Jaham bisa dianggap sebagai pujangga.
Di bagian akhir, lagu gubahan Jaham di lantunkan oleh kang uki dan grupnya di sebuah acara perayaan LESBUMI (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia), terlintaskah di kepala Saya pertanyaan ‘Inikah yang dimaksud kembali kepada fitrahnya?’. Setelah itu kembali kepada interaksi Nano Romansa dan Jaham yang sedikit berbicara tentang Dakwah yang disebarkan Wali Songo lewat berbagai macam cara sala satunya Kesenian, mungkin ini menjadi tolak ukur mereka atau sekedar angan.

Disini banyak sudut pandang yang terwakilkan lewat tokoh-tokoh yang ada di dalamnya, sehingga dapat mengikat berbagai segmentasi penonton dari setiap tokohnya.

Musik yang berjalan dalam film, berasal dari hits-hits Tarling disana sangat memberikan nuansa penggambaran hiburan disana, yang terasa hidup. Kalau sempat dicermati lirik-lirik-nya pun cukup unik, benar menggambarkan lika-liku kehidupan di Pantura, Goda-godaan, perselingkuhan, Rayu-rayuan, Genit-genitan, rasanya tidak akan keluar dari situ. Walaupun agak sedikit riskan menempatkan musik-musik seperti ini bisa terasa seperti menonton sebuah drama fiksi(india bahkan), namun gambar-gambar yang hadir tetap menjaga dan menunjukan realitas, tanpa ada unsur pen-dramatisir-an.

Setiap sutradara pasti memiliki treatment tersendiri untuk memperlakukan filmnya agar menjadi baik dan efektif di mata penontonnya. Sutradara menggunakan pendekatan secara observasional, mungkin kita menganggap melakukan pendekatan terhadap orang-orang yang ada di Tarling is Darling cukup rileks, seperti nongkrong ngobrol-ngobrol warkop-an atau di pos hansip, namun rasanya dibutuhkan kejelian untuk memilih momen momen yang tepat dari tokoh-tokoh yang sudah ditentukan untuk menjadi subyek. Bukan perkara mudah juga rasanya membuat subyek terbiasa dengan kamera yang menyorotinya, dan dapat bertingkah seperti sewajarnya, rasanya dibutuhkan waktu yang intens hingga mereka bersedia hari-hari nya dibuntuti dengan terbiasa. Agar  terlihat kehidupan subyek secara utuh, mau tidak mau sutradara juga harus mengikuti setiap dinamika dari setiap karakter-karakternya yang dimana perubahannya tidak terjadi secara cepat.

Metode pengambilan gambar Tarling is Darling dilakukan dengan tehnik yang dikenal dengan nama Single Shot Cinema,  mungkin dengan tehnik ini sutradara percaya betul filmnya bisa berkomunikasi secara efektif. Secara etika, para subyek tidak diperlakukan seperti mereka berada di dalam sebuah studio, dengan tata set Camera & Lighting yang rumit, dimana mereka bisa menjadi karakter lain. Mereka akan berdiri pada karakternya sendiri, tempat yang sudah mereka pijak, tak ada rekayasa dan sangat menekankan pada realitas. Single Shot Cinema membuat subyeknya tidak berjarak dengan penonton, seperti kita diajak bercengkrama memahami setiap narasi dan emosi mereka, dan mata kamera pun sangat mewakili sudut pandang penonton. Tak ada shot yang terasa intimidatif dan eksploitatif sehingga Tarling is Darling hadir tanpa sebuah penghakiman. banyak aspek kehidupan yang terekam begitu naturalnya, tanpa paksaan membuat kita dengan cepat memahami subyek-subyek film secara emosional.

Sedikit menyoal tentang etika, ada beberapa gambar dalam kamar yang membuat saya membayangkan proses di balik layarnya, mungkin saja tehnik dan metode ini memang baik untuk subyek-subyeknya bergerak secara natural, dan diikuti secara nyaman, namun pertanyaan kecil hadir, bukan kah manusia punya batas ruang privasi yang tidak bisa dimasuki orang lain.
Tarling is Darling hadir sebagai film dokumenter yang cukup menghibur, jenaka, dan memiliki pesonanya sendiri.

Tidak ada komentar: